Sunday, August 25, 2019

Stereotype Trheat Merusak Kebinekaan



Oleh : Bung Adam Jauri

Perkara yang carut-marut baik dari segi sosial, hukum, ekonomi, politik, pendidikan dan lain sebagainya menjadi PR kompleks bagi sebuah bangsa yang masih berkembang seperti Indonesia. Dari permasalahan kompleks itulah menjadikan negara yang besar seperti Indonesia ini masih dalam proses pembenahan diri. Namun dengan banyaknya problematika yang ada Indonesia tetap berpijak pada permadani persatuan meskipun banyaknya ancaman, serangan, dan goncangan yang hilir mudik silih berganti.

Indonesia-pun tetap berdiri dan Sang Garuda masih hidup walaupun dalam hal terbang masih belum sempurna atau belum dapat terbang tinggi meskipun Sang Garuda sudahlah tua.

Oleh karna itulah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) harus waspada terhadap berbagai macam ancaman yang ada, salah satunya ialah Ancaman Stereotipe (stereotype trheat) yang dimana ancaman ini dapat mengguncang atau membongkar formasi persatuan sehingga tidak ada lagi rasa/semangat kebinekaan yang awalnya terjalin secara harmonis dalam berkehidupan berbangsa dan bernegara.

(Sumber:Google)

Dalam hal ini mari kita fokuskan pembahasan mengenai Stereotipe yang dimana Stereotipe ibarat sebuah penyakit dalam ilmu biologi yang sangat mematikan (Patalogi Sosial) dalam kehidupan sosial dan dalam pembahasan ini tidak membahas secara satu persatu mengenai macam-macam stereotipe yang ada karna tulisan ini memfokuskan pembahasan mengenai impact yang ditimbulkan dari Stereotip.

Menurut Jeanny M.Fatimah,"Stereotip merupakan gambaran tertentu mengenai sifat-sifat dan watak pribadi individu atau golongan lain yang bercorak negative akibat tidak lengkapnya informasi dan sifatnya subjektif, dimana penilaian-penilainnya mengandung penyederhanaan dan pemukulrataan secara berlebih-lebihan".

Sesungguhnya kita telah membatasi diri kita untuk hal-hal baru karena Stereotipe sudah berakar serta telah menjamur didalam paradigma berfikir.

Banyak contoh kasus yang terjadi akibat kacamata stereotipe di dunia, salah satu contohnya dari segi Stereotipe Rasisme di Afrika Selatan, orang kulit putih (kolonial Inggris) memandang orang kulit hitam memiliki etos kerja yang buruk, intelektualitas yang tumpul dan ketidakmampuan hampir dalam segala bidang. Padahal itu hanyalah anggapan buruk yang berangkat dari penilaian subjektif lalu diberikan label kepada orang kulit hitam dan menggeneralisasikan nya sehingga anggapan tersebut adalah sebuah kebenaran.

Contoh lainnya lagi dalam hal sosial politik dapat kita temukan pada kasus G30S (Gerakan 30 September) tahun 1965 dimana orang-orang pada saat itu memandang bahwa seluruh anggota keluarga maupun simpatisan dari Partai Komunis Indonesia (PKI) harus dibantai.
Meskipun para pembantai tidak tau dengan jelas alasan mengapa mereka harus membantai ratusan ribu bahkan diperkirakan sampai jutaan orang korban dari hasil data The Econimist, Vitachi, dan Pluvier.

Sampai detik ini keluarga korban yang sempat meloloskan diri dari pembunuhan massal tersebut harus menerima pil pahit ketika hampir seluruh orang dilingkungan sekitarnya bahkan sampai kepada aturan yang termaktub didalam undang-undang dengan sangat jelas telah mendiskriminasi padahal mereka samasekali tidak terlibat dan punya andil didalam tragedi berdarah tersebut.

Dari kedua contoh diatas dapat kita tarik kesamaan pemahaman bahwa Stereotipe adalah penyakit dan pembatas diri maupun kelompok. Dan kita harus merdeka dari paradigma berfikir yg sungguh buram-kelam ini.

Saat ini ancaman stereotipe telah menampakkan diri, berangkat dari pernyataan salah satu dai kondang ustadz ternama di Indonesia (sebut saja UAS) yang menjadi perbincangan panas dan buah bibir di televisi, media sosial, surat kabar dan lain-sebagainya. Dimana tokoh agama tersebut dilaporkan oleh organisasi kemasyarakatan yang diduga menistakan agama karena dinilai telah Menghina Kristen/Menghina Salib.

Dari dugaan penistaan agama itu memunculkan tanggapan dan komentar pedas dari satu - dua orang kaum Nasrani, sehingga membuat salah seorang tokoh Agama Muslim lainnya (sebut saja UHH) dan (UYW) angkat bicara dan secara implisit mengancam kaum Nasrani dan orang-orang yang sudah melaporkan UAS ke Kepolisian Daerah (POLDA) NTT. Tanggapan dari beberapa atau yang kita fokuskan kepada kedua tokoh agama tersebut dapat memicu perdebatan dan menarik simpati dari umat muslim lainnya sampai ingin melakukan aksi demonstrasi yang mempunyai pandangan stereotipe sama, bahkan parahnya lagi berpotensi menciptakan peperangan antar umat beragama di Indonesia.

Hal yang juga mengerikannya keluar dari pernyataan UYW dengan secara gamblang dan tegas mendeskriditkan agama tertentu dan menyerukan serta menyuarakan keinginan berdebat secara terbuka dengan Pendeta-Pendeta di Indonesia.

Sebaiknya UYW dan UHH menindak tegas orang-orang yang dinilainya telah menghina UAS melalui proses hukum atau paling tidak UYW tidak ikut campur dalam persoalan tersebut karena permasalahan itu hanyalah antara UAS dan Si Pelapor saja. Bukan melakukan tindakan yang seakan-akan mengancam mengadakan perang fisik kepada umat agama lain yang dimana perang fisik sifatnya sungguh sangat primitif jika disandingkan dengan konteks zaman pada hari ini.

Dan terakhir yang tak kalah hebohnya ialah mengenai pada kasus Rasis yang ditujukan kepada Mahasiswa Papua di Malang sehingga memancing amarah orang Papua lainnya.
Al hasil, kemarahan dari orang-orang Papua tersebut telah melakukan pemberontakan besar-besaran dengan secara fulgar dan memperkuat landasan mereka untuk keluar dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).


(Konflik antar suku di Papua. Sumber : Google)

Padahal jika kita telisik lebih jauh persoalan ini hanya dilakukan oleh orang- perorang saja dan sesungguhnya jika kita menilai serta melihatnya dengan bijaksana persoalan ini sebenarnya dapat diselesaikan dengan cara hukum dan hanya orang-orang yang terlibat saja dalam perkara tersebut yang menjadi pelaku dan korban. Bukannya harus melibatkan orang-orang lain sehingga lebih memperunyam permasalahan yang ada.

Jadi, dari beberapa contoh kasus diatas dapat kita cerna dengan cermat bahwa dari berbagai macam kejadian/permasalahan tersebut akar permasalahan nya ialah karena adanya pola berfikir Stereotipe dan ketidaktahuan orang-orang terhadap Stereotipe sehingga memunculkan patalogi-patalogi sosial yang ada di masyarakat. Oleh sebab itu pengetahuan terhadap Stereotipe sangat penting agar supaya kita dapat menghindari ancaman yang ditimbulkan dari Stereotipe.

Seperti pembahasan diawal-awal tulisan dapat di lihat bahwa isi dalam pembahasan ini samasekali tidak membahas mengenai konteks Agama ataupun muatan yang mengandung unsur Sekularis/Sekularisme.
Tetapi isi daripada tulisan ini ialah membahas mengenai dampak dari Ancaman Stereotipe bagi kehidupan berbangsa di Negara yang sangat plural dengan adanya berbagai macam Suku, Ras, Agama dan budaya.

Maka dari itu mari kita jaga tali silaturahmi dan tetap waspada terhadap ancaman Stereotipe karena telah banyak menimbulkan permasalahan-permasalahan dalam kerukunan antar umat beragama serta ikatan harmonis antara saudara sebangsa dan setanah air.
Sebab salah satu tujuan dari adanya tulisan ini ialah sebagai stimulasi dan refleksi terhadap keutuhan berbangsa dan bernegara.



Salam santun...
Wassalam.

Thursday, August 22, 2019

KORBAN-KORBAN REVOLUSI YANG SIAP DIKURBANKAN



Dalam karyanya, ‘Sapiens’, Yuval telah banyak menyinggung hal-hal didalam sejarah Dunia dan perjalanan singkat Homo Sapiens. Salah satunya menyinggung hal yang awalnya sudah menjadi habitus bagi kita dimana Hewan-hewan yang biasa kita kenal dan jumpai juga mempunyai hak asasi yang sama seperti manusia.

Lepas dari determinasi dogmatis agama dan kepercayaan, dalam kacamata biologis manusia dan binatang sungguh mempunyai kesempatan yang sama untuk hidup dan bertahan hidup.

Sebagai mahluk material yang juga hidup dalam dunia material pula manusia dan hewan tercipta dari evolusi organisme-organisme yang berangsur sangat lama.

Kembali menoleh dalam poros sejarah kehadiran Homo Sapiens sekitar 17 ribu tahun lalu, dapat menjadi barometer bagaimana keegoisan dan keserakahan manusia dalam hal mendominasi segala macam sumber daya yang ada di Bumi, sungguh sesuatu hal yang ironi karena banyak dari berbagai macam spesies hewan maupun tumbuhan yang lebih dulu tinggal dibumi seakan-akan menjadi cemas karena kehadiran manusia yang begitu serakah.

Ditambah lagi dari hasil revolusi agrikultur yang menjadi awal terjadinya pembunuhan besar-besaran yang didomestikasi oleh kaum-kaum agrikuluturan.

Mengutip perkataan salah seorang filsuf yunani klasik, Aristoteles yang mengatakan, bahwa “Manusia adalah binatang yang berfikir” Dan juga pernyataan dari seorang ilmuwan terkenal, Charles Darwin mengatakan, “nenek moyang manusia adalah kera yang berevolusi menjadi manusia modern”.

Dari kutipan-kutipan filsuf diatas mungkin dapat dijadikan landasan berfikir bahwa kita adalah binatang yang mencoba menjadi Dewa atas segala mahluk yang ada di Bumi, menaikkan level dari apa yang telah terkonstruk dalam tatanan imajinasi.

Sesungguhnya dalam prespektif biologi terlepas dari hal dogmatis agama, derajat kita (manusia) dan hewan itu sama. Sebenarnya tanpa disadari kita telah menjadi pembunuh-pembunuh yang handal.

Andai saja kesengsaraan itu digambarkan melalui pendekatan Antropomorfisme, kita dapat membayangkan bagaimana seekor sapi, kerbau, dan ayam menangis, merintih kesakitan hingga akhirnya meminta tolong agar tidak dipenggal oleh sang algojo.


Kita pernah dan bahkan selalu melakukannya (membunuh) karna itu sudah menjadi kebiasaan yang terbangun dari culture fundamenta dan anggapan kaum intelek maupun kaum agamis yang dengan bangga mengakui bahwa mereka mencintai alam dan mencintai ciptaan Tuhan, tanpa mereka sadari, mereka telah mengkhianati tentang apa yang mereka katakan sebelumnya.

Tidakkah sesuatu yang egois bukan?

Sebenarnya tulisan ini hanya menjadi bahan perbandingan semata, supaya kita tidak terjebak dalam hal yang dogmatis. Harapan saya agar kita lebih mengenal, mencintai, dan menghargai alam serta mahluk ciptaan Tuhan.

“Selama penderitaan datang dari manusia, dia bukan bencana alam. Diapun bisa dilawan oleh manusia” (Pramoedya Ananta Toer).


....


Wassalam.



Oleh : Bung Adam Jauri
(Ketua DPK HUKUM UNIKA)