Wednesday, September 6, 2017

NEGERI GOTONG ROYONG



Oleh : Fathir Darwis (Kader GMNI Cabang Mamuju)

Gotong royong adalah pembantingan tulang bersama, perjuangan bantu-membantu bersama, amal semua buat kepentingan semua, keringat semua buat kebahagian semua. HO-LOPIS-KUNTUL-BARIS buat kepentingan semua. (Soekarno)

Istilah gotong royong ini berasal dari bahasa jawa. Gotong berarti pikul atau angkat, sedangkan royong berarti bersama-sama. Jika diartikan secara Harafiah gotong royong berarti mengangkat secara secara bersama-sama atau mengerjakan sesuatu secara bersaama-sama.

Gotong royong merupakan sebuah bukti bahwa manusia tidak bisa hidup tanpa bantuan orang lain. Dari zaman ke zaman yang tercatat, bahwa kehidupan manusia dalam mengerjakan sesuatu selalu bergotong royong. Seperti di Zaman purba yg melakukan perburuan bersama-sama dalam mencari makan dan bertani bersama-sama dalam kelangsungan hidup mereka. Bahkan gotong royong ini menjadi tradisi dibeberapa daerah di indonesia, seperti di daera Mandar sulawesi barat dikenal dengan istilah SIBALIPARRI. Inilah bukti bahwa gotong royong dapat memudahkan segala pekerjaan manusia.

“BERSATU KITA TEGUH, BERCERAI KITA RUNTUH” Demikian kalimat tersebut sangatlah populer dikalangan masyarakat, bahkan menjadi semboyan yang menyatukan masyarakat Indonesia. Bahkan dalam mencapai kemerdekaan Indonesia gotong royong menjadi kekuatan terbesar bangsa Indonesia dalam melawan kolonialisme dan imperialisme waktu itu, tanpa adanya pembedaan agama, kelas, suku, ras dan golongan.
bahkan pada pidato soekarno 1 juni 1945 dalam sidang BPUPKI mengatakan bahwa“PANCASILA”bisa diperas menjadi “TRISILA”, ketiga dasar itupun masih bisa diperas menjadi“EKASILA” yaitu (GOTONG ROYONG) karna gotong royong menurut soekarno adalah inti, identitas dan karakter asli masyarakat indonesia. Gotong royong pula yang menjadikan kekuatan terbesar bangsa Indonesia dalam bingkai persatuan yang kita junjung tinggi, yaitu BHINEKA TUNGGAL IKA.

Diera globalisasi tradisi gotong royong yang menjadi ciri khas indonesia, dalam praktiknya kian hari kian hilang ditengah masyarakat. Bahkan nilai-nilai yang terkandung dalam gotong royong semakin jauh dari ideologi bangsa dan berdampak buruk bagi generasi bangsa yang sekarang cenderung individualis dan apatis. Hal ini pula yang mengakibatkan terjadinya kerenggangan-kerenggangan antar masyarakat dalam berinteraksi dan bersosialiasi.

Padahal gotong royong bukan sekedar mencakup kegiatan sosiologis dan sikap etis dalam masyarakat. Tetapi juga mempunyai aspek biologis. Sehingga semestinya nilai gotong royong terus melekat dalam kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara.
Karena itu mengembalikan nilai gotong royong dalam kehidupan berbangsa dan bernegara menjadi solusi yang harus kita lakukan saat ini, Baik gotong royong dalam arti sosiologis sikap etis masyarakat maupun aspek ideologis suatu bangsa. Sehingga budaya gotong royong sebagai identitas bangsa indonesia ini tidak tergerus oleh globalisasi dunia.

Gotong royong yang merupakan kekuatan dari negeri ini bahkan menjadi jiwa bangsa Indonesia yang mempersatukan masyarakat Indonesia dalam segala aspek kehidupan. Itulah yg menjadikan gotong royong membudaya pada masyarakat Indonesia di tahun 90-an yang dimana segala aspek kehidupan dikerjakan bersama-sama dan saling bantu-membantu dalam keberlangsungan hidup manusia, baik dalam membangun rumah dengan gotong royong, bertani dengan gotong royong, kerja bakti lingkungan gotong royong dan banyak lagi dikerjakannya bersama. Inilah yang membuat masyarakat saling memudahkan dalam segala aspek kehidupan, terjalinnya silaturahmi dengan baik dan hidup rukun dalam keberagaman negeri ini. Gotong royong keren bukan..???
Sekarang tibalah saatnya kita benar-benar mengambil nasib bangsa dan nasib tanah air di dalam tangan kita sendiri.
Merdeka....!!!

.

Saturday, September 2, 2017

NIKMAT RASANYA KEJAM AKIBATNYA “ lika-liku menuju reformasi”



Oleh : Bayu alfarizi

Sebelum 17 agustus 1945,kemerdekaan bisa dikatakan masih dalam angan-angan saja.
Banhkan Merah Putih pun masih belum sanggup berkibar dengan tegak dan tegar di langit biru Indonesia sudah banyak jadi korban untuk kemerdekaan.
Demi sebuah mimpi besar bersama sebuah bangsa-kemerdekaan-rakyat negeri ini ternyata mampu bergerak berjuang dengan tulus. Mengorbankan apa saja miliknya. Keinginan untuk bisa mandiri, menentukan nasib bangsa dan negara sendiri, mampu menggerakkan sendi perjuangan rakyat Indonesia secarah utuh. Terus menerus tak kenal kata menyerah, apalagi harus putus di tengah jalan. Jauh dari keinginan pribadi, apalagi kelompok. Semuanya bersatu padu dalam nuansa: berjuang membebaskan bangsa dan negara dari segala macam belenggu penjajahan.
Kini,setelah 72 tahun merdeka,nuansa perjuangan itu perlu dihadirkan kembali. Sebab, sadar atau tidak,suka atau tidak suka nuansa perjuangan yang pernah membahana itu, kini telah”kotor atau rusak” . kotor karena virus konsumerisme,individualisme dan rusak karena kapitalisme bangsa sendiri.
Akibatnya, kemandirian bangsa yang berdaulat semakin hari semakin jauh dari kenyataan. Semuanya terkubur oleh virus konsumerisme dan kapitalisme yang melekat erat pada kekuasaan resim Soeharto selama kurang lebih 32 tahun. Memang nikmat rasanya,tapi akibatnya sungguh kejam.
Betapa tidak, setelah kita ternina bobokan dengan segala macam kemudahan hutang, kini kita harus didera krisis panjang akibat hutang yang jatuh tempo. Pertumbuhan pembangunan perekonomian 7-8% pertahun, ternyata begitu rapuh karena memang semu. Dan kini, kita terus menjadi bulan-bulanan pihak negara donor dengan segala kemauannya.
Nilai-nilai gotong-royong juga harus rela tersingkir dari arena kebudayaan masyarakat. Gotong-royong kini berbaju individualisme yang monopolistik. Dan rakyat pun tak pernah menjadi subyek, tapi harus sebagai obyek. Sementara negara hanya dijadikan sebuah alat legitimasi dari sekelompok orang. Kedaulatan rakyat pun kembali menjadi sebuah mimpi.
Sungguh berbeda dengan zaman sebelum Soeharto. Meski negara miskin, tapi rakyat masih bisa makan dan berdaulat. Meski inflasi di atas 600% ,tapi negara tak punya hutang. Rakyat masih berdaulat, mengakui Indonesia dengan segala macam sumber daya alamnya yang begitu melimpah ruah. Tak tergores oleh tangan-tangan kepentingan yang sarat dengan kolusi,korupsi,koncoisme,dan nepotisme.
Namun ketika kedaulatan berubah menjadi sebuah simbol saja, maka rakyat pun kembali tak berdaya. Hanya duduk sebagai penonton dari permainan kelompok per kelompok masyarakat yang bernafsu untuk saling menjatuhkan dan menguasai. Semuanya tertata rapi dalam sebuah kata demokrasi. Padahal cara-cara yang ditempuh justru sangat tidak demokratis. Bahkan cenderung anarkis. Jauh dari esensi demokrasi itu sendiri.
Histeria rakyat pun kembali muncul dengan baju semangat reformasi. Kebobrokan pun muncul satu persatu. Sahut menyahut satu sama lain. Kesenjangan demi kesenjangan merasuki semua bidang kehidupan bernegara dan berbangsa. Kolusi,Korupsi,Koncoisme, dan Nepotisme yang selama ini bersembunyi di balik jas kekuasaan, kini mulai dihujat habis-habisan. K-3-N diyakini sebagai salah satu wabah penyakit sosial yang membawa rakyat jadi melarat dan negara nyaris bangkrut.
Tak pelak lagi, semangat reformasi pun bembentuk percepatan sosial tersendiri. Melibas semua yang ada didepanya. Tak peduli siapa pun asal mengandung unsur menghalangi ambisi pribadi atau kelompok wajib di labrak. Bau-bau anarkis pun semakin erat dengan proses reformasi itu sendiri. Tapi siapa salah ? karena ini semua adalah cermin dari produk kekuasaan rezim Soeharto yang begitu represif.
Bola reformasi bergulir terus, seiring dengan waktu. Tak tentu arahnya. Tapi yang jelas “reformasi”akan melabrak siapa saja. Mulai dari pempimpin nasional hingga pemimpin tingkat rt. Kalau dianggap, tak becus,maka perlu direformasikan. Maka konotasi reformasi pun berubah sedikit demi sedikit. Dari yang bernada membangun menjadi proses penjatuhan atau pembubaran. Semuanya harus berlangsung cepat dan kenal kata tidak.
Seiring dengan kondisi itulah, muncul kelompok-kelompok kepentingan. Mereka yang selama resim Soeharto,kini berkuasa hanya sanggup berbisik bahkan ikut menikmati kemewahan”status quo”-nya Soeharto, kini bersuara lantang. Lebih lantang dari para mahasiswa sebagai pengusung tandu-tandu reformasi.
Tapi apa mau dikata,jikalau memang kelompok-kelompok ini akhirnya ditahbiskan untuk menguasai panggung politik. Sementara mahasiswa harus ikut lengser. Sungguh meprihatingkan.