Media resmi DPC GMNI MAMUJU sebagai penyaluran gagasan, kritik, dan propaganda. Juga sebagai wadah konsolidasi Ideologi Marhaenisme untuk membangun kesadaran ideologis dan kesadaran historis massa aksi agar yang tidak murni terbakar mati.
Saturday, September 2, 2017
NIKMAT RASANYA KEJAM AKIBATNYA “ lika-liku menuju reformasi”
Oleh : Bayu alfarizi
Sebelum 17 agustus 1945,kemerdekaan bisa dikatakan masih dalam angan-angan saja.
Banhkan Merah Putih pun masih belum sanggup berkibar dengan tegak dan tegar di langit biru Indonesia sudah banyak jadi korban untuk kemerdekaan.
Demi sebuah mimpi besar bersama sebuah bangsa-kemerdekaan-rakyat negeri ini ternyata mampu bergerak berjuang dengan tulus. Mengorbankan apa saja miliknya. Keinginan untuk bisa mandiri, menentukan nasib bangsa dan negara sendiri, mampu menggerakkan sendi perjuangan rakyat Indonesia secarah utuh. Terus menerus tak kenal kata menyerah, apalagi harus putus di tengah jalan. Jauh dari keinginan pribadi, apalagi kelompok. Semuanya bersatu padu dalam nuansa: berjuang membebaskan bangsa dan negara dari segala macam belenggu penjajahan.
Kini,setelah 72 tahun merdeka,nuansa perjuangan itu perlu dihadirkan kembali. Sebab, sadar atau tidak,suka atau tidak suka nuansa perjuangan yang pernah membahana itu, kini telah”kotor atau rusak” . kotor karena virus konsumerisme,individualisme dan rusak karena kapitalisme bangsa sendiri.
Akibatnya, kemandirian bangsa yang berdaulat semakin hari semakin jauh dari kenyataan. Semuanya terkubur oleh virus konsumerisme dan kapitalisme yang melekat erat pada kekuasaan resim Soeharto selama kurang lebih 32 tahun. Memang nikmat rasanya,tapi akibatnya sungguh kejam.
Betapa tidak, setelah kita ternina bobokan dengan segala macam kemudahan hutang, kini kita harus didera krisis panjang akibat hutang yang jatuh tempo. Pertumbuhan pembangunan perekonomian 7-8% pertahun, ternyata begitu rapuh karena memang semu. Dan kini, kita terus menjadi bulan-bulanan pihak negara donor dengan segala kemauannya.
Nilai-nilai gotong-royong juga harus rela tersingkir dari arena kebudayaan masyarakat. Gotong-royong kini berbaju individualisme yang monopolistik. Dan rakyat pun tak pernah menjadi subyek, tapi harus sebagai obyek. Sementara negara hanya dijadikan sebuah alat legitimasi dari sekelompok orang. Kedaulatan rakyat pun kembali menjadi sebuah mimpi.
Sungguh berbeda dengan zaman sebelum Soeharto. Meski negara miskin, tapi rakyat masih bisa makan dan berdaulat. Meski inflasi di atas 600% ,tapi negara tak punya hutang. Rakyat masih berdaulat, mengakui Indonesia dengan segala macam sumber daya alamnya yang begitu melimpah ruah. Tak tergores oleh tangan-tangan kepentingan yang sarat dengan kolusi,korupsi,koncoisme,dan nepotisme.
Namun ketika kedaulatan berubah menjadi sebuah simbol saja, maka rakyat pun kembali tak berdaya. Hanya duduk sebagai penonton dari permainan kelompok per kelompok masyarakat yang bernafsu untuk saling menjatuhkan dan menguasai. Semuanya tertata rapi dalam sebuah kata demokrasi. Padahal cara-cara yang ditempuh justru sangat tidak demokratis. Bahkan cenderung anarkis. Jauh dari esensi demokrasi itu sendiri.
Histeria rakyat pun kembali muncul dengan baju semangat reformasi. Kebobrokan pun muncul satu persatu. Sahut menyahut satu sama lain. Kesenjangan demi kesenjangan merasuki semua bidang kehidupan bernegara dan berbangsa. Kolusi,Korupsi,Koncoisme, dan Nepotisme yang selama ini bersembunyi di balik jas kekuasaan, kini mulai dihujat habis-habisan. K-3-N diyakini sebagai salah satu wabah penyakit sosial yang membawa rakyat jadi melarat dan negara nyaris bangkrut.
Tak pelak lagi, semangat reformasi pun bembentuk percepatan sosial tersendiri. Melibas semua yang ada didepanya. Tak peduli siapa pun asal mengandung unsur menghalangi ambisi pribadi atau kelompok wajib di labrak. Bau-bau anarkis pun semakin erat dengan proses reformasi itu sendiri. Tapi siapa salah ? karena ini semua adalah cermin dari produk kekuasaan rezim Soeharto yang begitu represif.
Bola reformasi bergulir terus, seiring dengan waktu. Tak tentu arahnya. Tapi yang jelas “reformasi”akan melabrak siapa saja. Mulai dari pempimpin nasional hingga pemimpin tingkat rt. Kalau dianggap, tak becus,maka perlu direformasikan. Maka konotasi reformasi pun berubah sedikit demi sedikit. Dari yang bernada membangun menjadi proses penjatuhan atau pembubaran. Semuanya harus berlangsung cepat dan kenal kata tidak.
Seiring dengan kondisi itulah, muncul kelompok-kelompok kepentingan. Mereka yang selama resim Soeharto,kini berkuasa hanya sanggup berbisik bahkan ikut menikmati kemewahan”status quo”-nya Soeharto, kini bersuara lantang. Lebih lantang dari para mahasiswa sebagai pengusung tandu-tandu reformasi.
Tapi apa mau dikata,jikalau memang kelompok-kelompok ini akhirnya ditahbiskan untuk menguasai panggung politik. Sementara mahasiswa harus ikut lengser. Sungguh meprihatingkan.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Kita memang butuh reformasi untuk keperluan hidup kita sehari-hari. Tetapi untuk mengubah tatanan hidup yang lebih baik dan lebih adil, tidak cukup hanya dengan reformasi. Tetapi Revolusi solusi kongkrit untuk keluar dari sistem penindasan yang sudah mengakar. MERDEKA !!!
ReplyDelete