Friday, November 10, 2017

Hari Pahlawan Nasional : Warisi Apinya Bukan Abunya



''bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati jasa para pahlawannya''. -Soekarno

10 November adalah hari bersejarah bagi bangsa Indonesia. Sebuah hari dimana waktu itu seluruh Rakyat di kota Surabaya turun kejalan dan mengikrarkan semangat perlawanan terhadap Imperialisme Barat yang ingin kembali menancapkan kuku-kukunya di bumi pertiwi. Tetapi berkat persatuan Rakyat Surabaya dan lewat orasi Bung Tomo yang berapi-api untuk mengajak seluruh rakyat mengambil bagian peperangan demi membelah tanah air, akhirnya kemerdekaan Indonesia bisa dipertahankan. Slogannya ''MERDEKA ATAU MATI''. ''Lebih baik kita hancur lebur daripada kkita tidak Merdeka...!!!'' itulah sepenggal kalimat dari orasi Bung Tomo yang mampuh mempengaruhi rakyat sehingga turut serta dalam pertempuran.

Kita teramat berhutang budi kepada para pahlawan kita yang telah gugur dalam pertempuran melawan penjajah asing. Mereka berjuag bukan untuk mendapatkan Harta, karena Harta pun mereka sumbangkan untuk perjuangan kemerdekaan. Mereka berjuang bukan untuk mendapatkan jabatan, karena dentuman bom, suara peluru, dan gemuruh meriam tidak menghentikan langkah mereka untuk berjuang di medan pertempuran. Bung Hatta pernah mengatakan ''Pahlawan itu berjuang bukan untuk dikenal namanya, melainkan semata-mata berjuang untuk membela cita-cita''.

Saat ini kita kembali memperingati 72 Tahun Hari pahlawan. Namun banyak diantara kita yang masih terjebak dalam romantisme masa lalu dan hanya terpaku pada sosok pahlawan seperti Soekarno, Hatta, Tan Malaka, Cut Nyak Dien, Pattimura, dan Bung Tomo, tanpa berpikir untuk bagaimana bisa mewarisi api semangat perjuangan mereka. Banyak diantara kita hanya menjadikan momentum Hari Pahlawan Nasional dengan bercerita dan mengenang masa-masa yang penuh Revolusioner hingga akhirnya membuat kita terjebak dan larut dalam suasana euforia romantisme masa lalu dan tidak mau lagi membuka mata pada realitas yang ada sekarang. Perlu kita pahami bahwa perjuangan belumlah selesai. Keadilan Sosial sebagai entitas masyarakat yang dicita-citakan seperti yang tertuang dalam PANCASILA, belumlah sepenuhnya terejawantahkan. Land Reform sesuai amanat konstitusi masih jauh dari harapan padahal Soekarno penah mengatakan ''revolusi tanpa land reform ibarat gedung tanpa alas'' bagaimana mau menciptakan entitas masyarakat yang ber-Keadilan Sosial kalau tanah tidak didistribusikan untuk petani melainkan hanya untuk tuan tanah dan dibajak oleh korporasi-korporasi nasional dan internasional. Bagaimana mau menjadi negara yang bermartabat jika sejarah kelam bangsa ini selalu ditutup-tutupi tanpa ada usaha untuk mengadili para pelaku pelanggaran HAM. Bagimana mau menjadi bangsa yang besar dan makmur jika tidak bisa mandiri dan berdikari. Lihat saja BUMN yang justru banyak menjadi milik asing. Setelah para pahlawan kita dahulu berjuang mati-matian mempertahankan Indonesia dari penjajah asing yang tamak, jusrtu sekarang para penguasa dan pemangku kebijakan menggadaikan negara ini kepada asing atas nama Globalisasi dan Modernisme (Lucu). Jika dahulu para pahlawan kita anti kolonialisme, anti imperialisme, anti kapitalisme, sekarang justru pemerintah kita menjadi cukong neokolim.

Oleh karena itu merayakan Hari Pahlawan Nasional jangan hanya sebatas momentuman dan seremonial, tetapi harus ada output yang jelas dan terlihat dari tingkah laku kita dalam memaknai HPN (Hari Pahlawan Nasional). Sekarang kita masih hidup dalam suasana penjajahan meski cara dan teksturnya sudah sangat halus dan berbeda. Oleh karena itu semangat Revolusioner dan Progressif harus tetap terpatri dalam diri kita dalam mengisi kemerdekaan itulah cara memaknai Hari Pahlawan Nasional.

''kita belum hidup dibawah sinar bulan purnama kita masih hidup dimasa pancaroba jadi tetaplah semangat elang rajawali''.-Soekarno


Ditulis Oleh : Esa Hermansyah

No comments:

Post a Comment