Wednesday, July 19, 2017

Prasyarat Marhaenisme


Apa yang memungkinkan sama-sekali lahirnya marhaenisme? Pertanyaan ini penting untuk diajukan, karena menyangkut ihwal terdasar dari marhaenisme. Suatu ihwal yang tanpanya, marhaenisme tidak akan ada. Suatu ihwal yang menjadi prasyarat adanya marhaenisme. Dalam kata lain, pertanyaan ini akan membawa diskursus pada perbincangan ontologi marhaenisme.

Apakah Budi Nurani?

Selama ini, diakui atau tidak, penjelasan tentang marhaenisme dimulai dengan ‘budi nurani rakyat’. Dalam penjelasan yang demikian, budi nurani sepertinya memiliki posisi signifikan dalam marhaenisme. Bahkan, boleh dikatakan, budi nuranilah ihwal terdasar dari marhaenisme, sehingga tanpanya marhaenisme tidak akan ada.
Namun, bisakah ‘budi nurani rakyat’ itu muncul tanpa sesuatu apapun yang melatar-belakanginya? Setiap manusia bisa saja dikatakan memiliki budi nurani, namun untuk mengemuka budi nurani itu sendiri membutuhkan satu faktor tertentu. Misalkan, semua orang memiliki kesadaran untuk tidak mau ditindas, tapi kesadaran untuk menentang penindasan itu sendiri baru akan muncul seiring dengan kenyataan objektif ketertindasan itu sendiri ada.

Lagipula, apakah cukup dengan hanya budi nurani seorang Soekarno memahami realitas Hindia-Belanda, untuk kemudian menemukan realitas pemiskinan dan membikin marhaenisme? Seorang ustadz pun memiliki budi nurani dan menyadari budi nurani yang dimiliki rakyat, tapi mengapa rumusan sang ustadz soal kemiskinan berbeda dengan Soekarno? Ketika Soekarno mengatakan bahwa kemiskinan diakibatkan oleh feodalisme dan kapitalisme, sang ustadz beranggapan kemiskinan diakibatkan oleh akhlak yang buruk dari para orang kafir Belanda.
Dengan demikian, sangat jelas ‘budi nurani rakyat’ tidak bisa dijadikan jawaban atas pertanyaan di muka. Membutuhkan suatu penjelasan yang panjang bahkan, untuk menjelaskan mengapa seseorang memiliki budi nurani dan bagaimana budi nurani tersebut mengemuka. Banyak realitas lain yang turut membentuk budi nurani seseorang. Itulah sebabnya, meskipun sama-sama mempunyai budi nurani, hasil pandangan seseorang terhadap suatu hal belum tentu sama. Singkatnya, meskipun Soekarno memiliki budi nurani dan mampu merasakan budi nurani rakyat, tidak menjamin lahirnya marhaenisme.

Soekarno?

Sekarang mari beranjak pada jawaban lain yang mungkin juga akan mengemuka. Setelah menyadari bahwa marhaenisme tidak didasarkan oleh budi nurani, seorang marhaenis kecye akan mengganti jawaban pertanyaan di atas dengan: Soekarno. Dia akan berkata: ‘jelas bung, Soekarno kan yang bikin marhaenisme, berarti tanpa Soekarno marhaenisme tidak akan ada’. Baiklah, pernyataan tadi memang tidak bisa dibantah. Akan tetapi, bukan berarti tidak bisa dipertanyakan lebih jauh: bisakah Soekarno membikin marhaenisme jika pada waktu itu tidak ada penjajahan di Indonesia?

Semua tahu, Soekarno yang merumuskan marhaenisme, tetapi ia tidak akan bisa melakukan itu tanpa mengetahui sama-sekali di Hindia-Belanda terjadi suatu penindasan. Soekarno tidak akan pernah merumuskan marhaenisme, seandainya ia tidak merasakan ada yang salah. Ia pun tidak akan mengetahi ada yang salah, jika sebelumnya ia tidak pernah belajar dan membaca. Meskipun demikian, belajar dan membaca saja tidak akan membuat ia menemukan marhaenisme. Apa yang mau dilakukan dengan belajar dan membaca seandainya tanpa apapun yang terjadi di Indonesia?
‘Oh iya ya…??’ demikian si marhaenis kecye sembari menyalakan rokok dengan terburu-buru dan menghisapnya dalam-dalam, bagaikan dunia ini begitu menyiksa. Kemudian,dengan sigap ia melanjutkan dan bertanya…

Lantas Apa?

Jawaban atas pertanyaan di muka tidak lain dan tidak bukan adalah marhaen. ‘Mengapa marhaen, bung?’ si marhaenis kecye sigap bertanya. Bagaimana bisa tanpa adanya marhaen, marhaenisme ada? Soekarno merumuskan marhaenisme setelah menemukan realitas marhaen di Indonesia. Sehingga, keberadaan marhaen adalah prasyarat bagi adanya marhaenisme
‘Sebentar bung, sebentar…lah, Marhaen itu sendiri belum jelas kok ada atau tidaknya. Ada yang bilang sih, kalau Marhaen itu cuma

rekayasa Soekarno, padahal mah enggak ada yang namanya Marhaen…’ marhaenis kecye menyanggah dengan begitu bersemangat seolah-olah dia menemukan jurus paling ampuh untuk membunuh lawan. ‘Marhaen’ yang dimaksud di sini bukanlah sekedar Marhaen seorang petani yang ditemui Soekarno di Bandung. Melainkan marhaen sebagai penanda realitas pemiskinan di Indonesia.
Membaca Soekarno memang harus hati-hati, bahkan jika perlu waspada, soalnya salah-salah yang dipahami justru sangat sempit bahkan kabur. Soekarno memang terlihat suka menyimbolkan realitas dengan sosok manusia. Inilah yang dapat dilihat dari Marhaen ataupun Sarinah. Keduanya digambarkan sebagai person yang kemudian diperluas menjadi suatu penanda realitas yang lebih luas. Marhaen yang awalnya digambarkan sebagai nama seorang petani diluaskan menjadi penanda untuk semua yang dimiskinkan oleh sistem. Sarinah yang diceritakan nama dari Ibu Pengasuh Soekarno diperluas menjadi penanda realitas ketertindasan perempuan.

Namun, bukan berarti dengan ini perbincangan tentang marhaen telah selesai. Marhaen adalah yang dimiskinkan oleh sistem. Hal ini mempertegas bahwa ada suatu kenyataan yang mengakibatkan adanya pemiskinan. Kenyataan itu yang dilihat Soekarno, dipelajari, dipahami, dibedah, dibongkar dan ditarik simpulan-simpulan persoalannya. Dengan begitu,Soekarno kemudian menemukan adanyamarhaen diakibatkah oleh feodalisme dan kapitalisme.

Sehingga, menjadi jelas bahwa realitas ketertindasan yang kemudian dikemukakan dibalik term marhaen itulah prasyarat marhaenisme. Olehkarena itu, pembicaraan terhadap realitas penindasan menjadi sangat penting dalam marhaenisme. Sebabnya, agar dapat diketahui bagaimana marhaen saat ini dan bagaimana penindasannya, serta tentu saja, siapa dan seperti apa yang menindasnya.
‘Oh begitu…paham…paham’ si marhaenis kecye ngangguk-ngangguk. Akhir kata, perbincangan tentang situasi yang dihadapi saat ini jelaslah lebih penting ketimbang memikirkan konflik di GMNI, peta politik GMNI, apalagi pesanan alumni.***

Mastono
Wakabid Kaderisasi DPC GMNI Yogyakarta
Pengasuh Rubrik Diskursus Senthir Media

No comments:

Post a Comment